Selasa, 04 Juni 2013
TIAP NAGARI DI SUMATERA BARAT TERANCAM BABY BOOMING
INDONESIA saat ini dengan jumlah penduduk terbanyak urutan ke empat dunia harus mewaspadai ancaman baby booming tahap II apabila program Keluarga Berencana kurang mendapat dukungan. Komitmen politis dan operasional dari berbagai pihak untuk program Keluarga Berencana saat ini makin memudar.
Indikasi terjadinya baby boom tahap II ini bukan sebuah dramatisasi, kata Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional/BKKBN.
Hasil Survei Demografi Kependud ukan Indonesia 2007 telah memberi sinyal kuat bahwa dengan peserta Keluarga Berencana (KB) yang hanya meningkat sekitar satu persen dari 60,3 persen menjadi 61,4 persen, dan unmet need yang meningkat dari 8,6 persen menjadi 9,1 persen dan Total Fertility Rate (TFR) yang stagnan pada angka 2,6 anak per perempuan usia subur selama lima tahun terakhir, ini merupakan bukti nyata bahwa baby boom kedua sangat mungkin terjadi kembali di Indonesia.
Idealnya sebuah negara perlu mencapai populasi yang stabil atau seimbang. Indonesia perlu berupaya untuk mencapai Penduduk Tumbuh Seimbang dan Penduduk Tanpa Pertumbuhan. Kedua kondisi itu memerlukan syarat Total Fertility Rate (TFR) sekitar 2,1 anak per perempuan usia subur, Net Reproductive Rat io (NRR) = satu anak, yaitu rata-rata anak perempuan satu orang pada setiap keluarga, dan kesertaan masyarakat menjadi peserta KB minimal 70 persen.
Ketiga syarat tersebut harus dapat dipertahankan selama kurang lebih 30-40 tahun berturut-turut, tidak boleh mengendor apalagi memburuk. Sekarang ini peserta KB masih 61 persen.
Saat ini, program KB sudah dianggap berhasil sehingga tidak diprioritaskan, bahkan tidak didukung dengan pendanaan yang memadai. Seharusnya dana yang dibutuhkan untuk tahun 2008 saja sebesar Rp 4 trilyun, namun dana yang tersedia hanya Rp 1,2 trilyun.
Selain itu, yang memprihatinkan adalah kegiatan operasional di lini lapangan sudah tidak banyak tampak. Kegiatan penyuluhan yang dilakukan ole h Penyuluh Lapangan KB sudah jarang terlihat. Kunjungan kader KB dari rumah ke rumah untuk memotivasi pada Pasangan Usia Subur untuk ber-KB sudah jarang dilakukan. Juga eksistensi kelembagaan KB di kabupaten dan kota telah mengalami perubahan.
Idealnya satu desa memiliki satu petugas lapangan KB, sehingga kebutuhan untuk Indonesia 35.000 PLKB, tetapi yang kita miliki baru 21.000 PLKB.
Sementara itu, sekitar 13.000 PLKB telah dialihfungsikan menjadi tenaga administratif. Kondisi ini menyulitkan pelaksanaan kegiatan operasional KB di lapangan karena itu tenaga PLKB perlu ditambah terlebih yang bisa mobile hingga ke pelosok desa atau nagari untuk menjangkau mereka yang tidak mampu mengakses layanan KB.
Bila tidak segera disikapi dengan tindakan yang nyata maka setiap nagari di sumatera barat pun akan terjadi ledakan jumlah kelahiran penduduk yang tidak terkontrol.